SuaraTani.com - Jakarta| Kementerian Kehutanan (Kemenhut) belum lama ini mengumumkan rencana alokasi 20,6 juta hektare hutan—setara 1,5 kali luas Pulau Jawa—untuk kebutuhan pangan dan energi.
Anggota Komisi IV DPR RI Ellen Esther Pelealu menilai kebijakan tersebut merupakan kekeliruan besar dan mencerminkan miskonsepsi terhadap fungsi hutan.
“Fraksi Partai Demokrat berpendapat bahwa kebijakan ini merupakan kekeliruan besar dan mencerminkan adanya miskonsepsi terkait fungsi hutan. Jika dibiarkan, hal ini sama saja dengan melegalkan deforestasi. Tidak ada cara lain untuk menangani hutan lindung yang berstatus kritis selain mengembalikannya menjadi hutan,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang dikutip Sabtu (1/3/2025) di Jakarta.
Sebelunya, dalam rapat Komisi IV DPR RI dengan Kemenhut di Gedung Nusantara, Jakarta, Kamis (27/2/2025), Ellen menjelaskan bahwa sepanjang tahun 2001 hingga 2023, Indonesia telah kehilangan tutupan hutan seluas 30,8 juta hektare.
Kondisi ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kehilangan tutupan pohon terbesar kelima di dunia.
Ellen juga menyoroti status hutan produksi terbatas (HPT). Menurutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri LHK Nomor 8 Tahun 2021 telah mengamanatkan bahwa pemanfaatan HPT hanya dapat dilakukan dengan metode tebang pilih dan tidak boleh dikonversi.
Maka dari itu, Fraksi Partai Demokrat meminta Menteri Kehutanan untuk menunjukkan secara jelas lokasi 20,6 juta hektare hutan yang dialokasikan beserta data spasialnya.
Memastikan bahwa lokasi tersebut tidak tumpang tindih dengan kawasan konservasi, hutan lindung, sempadan sungai, pantai, danau, atau kawasan resapan air.
Tidak menerbitkan persetujuan pelepasan kawasan hutan atau perizinan yang dapat berimplikasi pada deforestasi hutan alam.
Mempercepat dan memperluas pengakuan hak masyarakat adat dan komunitas lokal.
“Dari 30,1 juta hektare yang telah dipetakan oleh masyarakat adat, sebanyak 23,8 juta hektare masih berada dalam klaim kawasan hutan negara dan hingga kini belum dikembalikan kepada masyarakat adat, sebagaimana diamanatkan dalam Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012,” tegasnya. (wulandari)