SuaraTani.com - Jakarta| Pemerintah diharapkan melakukan strategi pembangunan budidaya dan industri pengolahan ikan nila yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif dan berkelanjutan terutama ikan nila yang dibudidaya di perairan Danau Toba, Sumatera Utara (Sumut).
Pasalnya, produk filet tilapia dari Toba, menjadi yang terbaik di dunia dan terlaris di pasar Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Uni Eropa. Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh dari FAO tahun 2016.
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Prof Dr Rokhmin Dahuri mengatakan itu saat menjadi narasumber pada Forum Indonesia Tilapia Blue Food “Budidaya Tilapia: Sumber Protein untuk Ketahanan Pangan dan Pasar Global".
Kegiatan tersebut digelar oleh Regal Springs Indonesia (PT Aqua Farm Nusantara) di Hotel DoubleTree, Jakarta, Kamis (28/11/2024) sekaligus memperingati Hari Ikan Nasional yang jatuh pada tanggal 21 November kemarin.
Dari materi Rokhmin Dahuri, yang dikutip, Senin (2/12/2024), disebutkan pada tahun 2023, dari total produksi ikan Indonesia sebesar 5,487 juta ton, sebanyak 1,369 juta ton atau 25% diantaranya berupa ikan nila.
Dengan volume produksi 1,369 juta ton, ikan nila menempati peringkat pertama sebagai produksi ikan terbesar di Indonesia, disusul ikan lele 1,137 juta ton dan udang sebesar 821.060 ton.
"Hal itu membuat Indonesia menjadi produsen ikan nila terbesar kedua di dunia atau sebanyak 26% total produksi ikan dunia setelah China," kata Dahuri.
Anggota DPR RI periode 2024-2029 ini juga mengatakan, kontribusi ekonomi sektor pariwisata baru akan bisa menyamai kontribusi ekonomi sektor perikanan budidaya di Danau Toba saat ini, diperkirakan pada 2041 (Deltares dan Bank Dunia, 2017).
Sumatera Utara, kata Dahuri, merupakan penghasil ikan nila terbesar kedua di Indonesia yakni sebesar 170.026 ton atau 12,424%, setelah Jawa Barat dengan produksi ikan nilanya sebanyak 279.209 ton atau 20,402%.
Ia mengatakan, ada beberapa strategi yang perlu dilakukan pemerintah untuk pembangunan budidaya dan industri pengolahan ikan nila di perairan Danau Toba, Sumut.
Pertama, kata Dahuri, menjaga, merevitalisasi, dan mengembangkan perusahaan-perusahaan ikan nila terpadu-berkelas dunia seperti PT Regal Spring Indonesia. Sehingga Indonesia menjadi pengekspor ikan nila (volume dan nilai) terbesar di dunia.
"Sekitar 90% total volume dan 75% total nilai ekspor ikan nila Indonesia itu berasal dari usaha keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba. Dengan nilai ekspor sebesar USD100 juta atau Rp1,5 triliun per tahun. Hal ini sesuai dengan data dari Kementerian Kelauatan dan Perikanan tahun 2019," kata Dahuri.
Yang kedua, lanjut Dahuri, melakukan revitalisasi seluruh unit usaha budidaya ikan nila rakyat, supaya lebih produktif, efisien (menguntungkan), berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan (sustainable).
Hal itu dapat dilakukan dengan menerapkan Good Aquaculture Practices (Cara-cara Budidaya Ikan Terbaik). Seperti, membuat lokasi budidaya sesuai RTRW, penggunaan benih unggul (SPF, SPR, dan fast growing) bersertifikat.
Menggunakan pakan berkualitas dan teknik pemberian pakan presisi (FCR rendah, bila mungkin FCR = 1), menggunakan teknologi budidaya mutakhir seperti RAS dan bioflock.
Kemudian, pengendalian hama dan penyakit ikan, pengelolaan kuantitas dan kualitas air, serta menerapka biosecurity.
Ketiga, melakukan pengembangan usaha budidaya ikan nila di wilayah-wilayah (ekosistem) perairan baru (ekstensifikasi) seperti danau, bendungan, sungai, sawah (mina padi), dan bekas tambak udang di Pantura, sesuai dengan Daya Dukung Lingkungan masing-masing wilayah.
Keempat, penguatan dan pengembangan industri pengolahan (manufacturing industry) dan kemasan ikan nila untuk menghasilkan produk hilir (finished products) baru yang berdaya saing tinggi, dan tanpa limbah (zero-waste).
"Ini sudah dilakukan perusahaan Regal Springs Indonesia. Produk tilapia yang mereka hasilkan zero waste. Semua limbah mereka manfaatkan menjadi bernilai jual," kata Dahuri.
Kelima, adalah melakukan penguatan dan pengembangan usaha hatchery (pembenihan) untuk menghasilkan indukan (broodstocks) dan benih ikan nila unggul, dengan jumlah yang mencukupi usaha pembesaran ikan nila di seluruh wilayah NKRI.
Keenam, penguatan dan pengembangan industri pakan berkualitas tinggi, harga relatif murah, dan volume mencukupi.
Ketujuh, penguatan dan pengembangan sistem logistik dan rantai pasok secara terintegrasi.
Kedelapan, penguatan dan pengembangan infrastruktur, termasuk jaringan jalan, telkom, internet, listrik, dan air bersih.
Kesembilan, pengelolaan lingkungan perairan agar tidak tercemar. Kesepuluh, melakukan kerja sama saling menguntungkan antara perusahaan besar dan UMKM.
Dan, terakhir strategi yang perlu dilakukan dalam mengembangkan budidaya ikan nila adalah kebijakan politik-ekonomi yang kondusif. Seperti moneter, fiskal, naker, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis.
"Karena usaha budidaya ikan nila ini sebagai penyedia lapangan kerja yang cukup besar sekitar 2.500 orang pembudidaya (on farm) dan 12.500 orang yang bekerja di sektor hulu. Yakni pabrik pakan, alsintan, hatchery, dan lainnya," jelas Dahuri.
Sementara di sektor hilir lanjut Dahuri, ada industri pengolahan filet ikan nila, pabrik es, cold storage, packaging, rumah makan, hotel, transportasi, dan industri serta jasa terkait lainnya.
"Budidaya ikan nila ini menciptakan multiplier effects ekonomi yang cukup besar di samping meningkatkan ketahanan pangan dan status gizi masyarakat," tutup Dahuri. * (junita sianturi)