SuaraTani.com - Jakarta| Komisi VII DPR RI mempertanyakan produksi lifting Minyak dan Gas (Migas) yang hingga saat ini masih jauh dari target yang ditetapkan, sebesar 1 juta barel per hari (bph). Bahkan tren dari tahun ke tahun, lifting migas tersebut cenderung menurun.
“Jadi kalau kita melihat dari tahun ke tahun memang trennya menurun-menurun terus. Sedangkan kita punya target besar gitu, 1 juta barel (per hari) itu kan tidak angka yang kecil gitu ya," kata anggota Komisi VII DPR RI Dyah Roro Esti.
Hal itu dikatakannya di sela-sela Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR dengan Plt. Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Rapat digela di ruang rapat Komisi VII DPR RI, Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (29/5/2024).
Dalam rapat tersebut, Dyah menawarkan kepada kementerian, kalau memang target tersebut tidak realistis, target harus dievaluasi.
Politisi dari Fraksi Partai Golkar ini kembali mempertanyakan sikap optimis Kementerian ESDM terhadap target yang telah ditetapkan sebelumnya tersebut.
Komisi VII yang bermitra dengan Kementerian ESDM, kata dia, bersedia untuk duduk bersama mendiskusikan hal tersebut. Dan, memberikan masukan terkait realitas dari target yang ditetapkan pemerintah.
“Nah, apakah Kementerian ESDM masih optimis bisa mencapai target tersebut. Meskipun kami menilai, target tersebut sangat tidak realistis. Intinya tidak realistis,” tegasnya.
Dyah juga melihat ada hikmah dari ketertinggalan lifting minyak dari target yang telah ditetapkan tersebut. Pasalnya, sebagai advokat bagi lingkungan, ia menilai saat ini sudah saatnya masyarakat memiliki hak untuk menikmati atau mendapatkan udara bersih, terhadap lingkungan yang bersih.
Sementara lifting minyak saat ini masih menggunakan energi fosil yang notabene belum ramah lingkungan.
Pihaknya berharap ke depan bisa selalu menekankan untuk selalu mengupayakan energi-energi yang lebih ramah lingkungan.
Dyah mengakui, saat ini pemerintah sudah mulai menggunakan energi ramah lingkungan, baik melalui kendaraan listrik dan sebagainya. Namun, menurutnya, yang lebih penting dari itu dan menjadi pondasi utama untuk transisi energi ke yang lebih baik adalah lewat kebijakan.
“Pondasi utama untuk transisi ke energi bersih menurut saya lewat kebijakan, lewat regulasi, yakni dengan menciptakan RUU Energi Baru dan Energy Terbarukan," jelasnya.
Karena dengan terciptanya undang-undang ini, sebetulnya bisa membuka peluang agar Indonesia itu bisa mendiversifikasi energi portfolio mereka.
"Yang tadinya mayoritas batu bara ke energi bersih. Ini sekaligus bisa membuka peluang investasi baru,”paparnya. * (wulandari)