SuaraTani.com – Medan| Sumatera Utara (Sumut) di bulan Mei berpeluang mengalami inflasi. Meski demikian harga cabai masih ditrasaksikan lebih murah dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Harga cabai merah turun 31% dan cabai rawit anjlok sekitar 21% di bulan Mei. Disusul selanjutnya daging sapi anjlok sekitar 2%, dan minyak goreng curah turun sekitar 2.7%.
Di sisi lainnya, menurut Ekonom Sumut, Gunawan Benjamin, sejumlah harga kebutuhan pangan yang mengalami kenaikan adalah bawang merah naik 14.5%, bawang putih naik 19.2% hingga 23%, telur ayam naik 33% hingga 43%, serta daging ayam naik 27%.
Selain komoditas pangan, harga emas di bulan Mei ini rata-rata masih lebih tinggi dibandingkan dengan bulan April. Meskipun tren penurunan harga emas terjadi di 2 pekan menjelang penutupan bulan Mei.
“Saya memroyeksikan besaran angka inflasi maksimal 0.12%. Dan inflasi pada bulan Mei ini berpeluang akan dilanjutkan dengan potensi kenaikan laju tekanan inflasi pada bulan bulan selanjutnya. El Nino akan menjadi masalah utama pemicu laju tekanan inflasi di Sumut,” kata Gunawan di Medan.
Dilanjutkan Gunawan, dampak inflasi yang diakibatkan dari El Nino tersebut nantinya akan lebih banyak memberikan tekanan daya beli masyarakat.
Berbeda dengan tahun 2022 silam, dimana sekalipun ada kenaikan laju inflasi yang besar, tetapi sumber pendapatan masyarakat di Sumut relatif lebih terjaga karena harga komoditas unggulan Sumut naik harganya.
Namun saat ini sejumah harga komoditas unggulan Sumut seperti sawit, karet, dan kopi masih lebih rendah dibandingkan dengan capaian harga di tahun 2022.
Hanya kakao yang harganya saat ini masih mampu bertahan di atas harga tahun lalu. Dari posisi US$2.200 per ton, sekarang bertengger di level US$2.991 per ton.
Sayangnya sawit yang menjadi motor utama penopang daya beli mengalami penurunan sekitar 50% dari capaian tertinggi tahun lalu.
Sehingga setelah bulan Mei ini, inflasi yang berpeluang tercipta akan lebih banyak memberikan penderitaan bagi masyarakat Sumut.
Karena belanja masyarakat akan tergerus inflasi, namun disisi lain mengharapkan kenaikan pendapatan sebuah keniscayaan saat ini.
Khususnya bagi para pekerja informal yang lebih banyak mengandalkan pendapatan fluktuatif, dan tanpa ada jaminan kenaikan pendapatan.
Sayangnya porsi pekerja informal ini sekitar 57%, sehingga inflasi yang tercipta ini akan memperburuk pengeluaran masyarakat.
“Jadi daya rusak inflasi di tahun ini akan lebih besar dibandingkan dengan inflasi tahun sebelumnya. Karena sekecil apapun inflasi yang tercipta, luka memar (scarring effect) yang ditimbulkan bisa cukup parah,” pungkasnya. *(ika)